Pernah
suatu ketika Rasulullah muhammad Shalallaahu
alaihi wasalam berwasiat mengenai taqwa, dan kisah ini diriwayatkan oleh Irbadh
bin Sariyah bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam shalat subuh bersama
kami, kemudian memberi nasihat dengan nasihat yang baik yang dapat meneteskan
air mata serta menggetarkan hati yang mendengarnya. Lalu berkatalah salah
seorang sahabat, “Ya Rasulullah, sepertinya ini nasihat terakhir, oleh karena itu nasihatilah kami”.
Lalu Nabi bersabda:
أَوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا،
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَة.
Artinya: “Aku wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah,
mendengar dan mentaati, sekalipun kepada budak keturunan Habsyi. Maka
sesungguhnya barangsiapa di antara kamu hidup pada saat itu, maka dia akan
menyaksikan banyak perbedaan pendapat. Oleh karena itu hendaklah kamu mengikuti
sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah
kuat-kuat dengan gigi gerahammu (peganglah sunnah ini erat-erat). Dan
berwaspadalah kamu terhadap perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap
bid’ah itu sesat”. (HR. Ahmad IV:126-127; Abu Dawud, 4583; Tarmidzi, 2676, Ibnu
Majah, 43; Ad-Darimi 1:44-45; Al-Baghawi, 1-205, syarah dan As Sunnah, dan
Tarmidzi berkata, hadits ini hasan shahih, dan shahih menurut Syaikh
Al-Albani).
Hadirin sidang sholat jumat yang
berbahagia.
Dalam sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Aku wasiatkan
kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati”, tersebut di
atas, seorang ulama Ibnu Rajab berkata, bahwa kedua kata itu yaitu mendengar
dan mentaati, mempersatukan kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun taqwa
merupakan penjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Para sahabat dan generasi salafus shalih yang memahami betul
tuntunan Al-Qur’an dan mengikuti jejak sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap taqwa ini, mereka terus
mencari hakikatnya, saling bertanya satu sama lain, serta mereka berusaha keras
untuk mencapai derajat taqwa.
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya bahwa: Umar bin
Khathab ra bertanya kepada Ubai Ibnu Ka’ab ra, tentang taqwa, maka berkatalah
Ubai kepada Umar:
“Pernahkah engkau melewati jalan
yang penuh duri?”
“Ya, Pernah”. Jawab Umar.
Ubai bertanya lagi: “Apa yang anda
lakukan saat itu?”.
Umar
menjawab: “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali
agar tak terkena dengan duri itu”. Lalu Ubai berkata: “Itulah taqwa”.
Dari riwayat
ini kita dapat mengambil pelajaran bersama, bahwa Taqwa itu adalah kesiapan diri,
kelembutan perasaan, rasa takut kepada Allah terus menerus, hingga ia selalu
waspada dan hati-hati agar tidak terkena duri syahwat dan duri syubhat di
jalanan. Ia menghindari perbuatan syirik sejauh-jauhnya, juga menghindari semua
maksiat dan dosa, yang kecil maupun yang besar. Serta ia juga berusaha keras
sekuat tenaga mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa
Ta’ala, lahir dan batin dengan hati yang khudlu’ dan merendahkan diri di
hadapan Allah Subhannahu wa Ta’ala.
Hadirin Jama’ah Jum’at yang
dimuliakan Allah
Kata taqwa memang selalu mengawali pesan khatib dalam tiap khutbah
jumat yang disampaikan, karena memang sangat pentingnya mewujudkan sebuah
ketaqwaan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak sekali faktor-faktor
penunjang agar kita bisa merasakan ketaqwaan tersebut, di antaranya ada 5 hal
penting:
1.
Mahabbatullah atau mencintai Allah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Kecintaan kepada Allah itu
ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang
dicintainya, batangnya adalah mengenal Allah, rantingnya adalah rasa takut
kepada siksa-Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan
adalah taat kepada-Nya, bahan penyiramnya adalah dzikir kepada-Nya, kapan saja,
jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada
Allah”. (Raudlatul Muhibin, 409, Darush Shofa).
2. Merasakan
adanya pengawasan Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat
apa-apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hadid: 4).
Makna ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah mengawasi
dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat
ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang. Di rumah kediamanmu maupun di
ruang terbuka. Segala sesuatu berada dalam ilmu-Nya, Dia dengarkan perkataanmu,
melihat tempat tinggalmu, di mana saja adanya dan Dia mengetahui apa yang kamu
sembunyikan serta yang kamu fikirkan”. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, IV/304).
3. Menjauhi
penyakit hati
Di dunia ini tidak ada yang namanya kejahatan dan bencana besar,
kecuali penyebabnya adalah perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Adapun
penyebab dosa itu teramat banyak sekali, di antaranya penyakit hati, penyakit
yang cukup kronis, yang menimpa banyak manusia, seperti dengki, yang tidak
senang kebahagiaan menghinggap kepada orang lain, atau ghibah yang selalu
membicarakan aib orang lain, dan satu penyakit yang tidak akan diampuni oleh
Allah yaitu Syirik. Oleh karena itu mari kita berlindung kepada Allah
Subhannahu wa Ta’ala dari penyakit itu semua.
4. Menundukkan
hawa nafsu
Apabila
kita mampu menahan dan menundukkan hawa nafsu, maka kita akan mendapatkan
kebahagiaan dan tanda adanya nilai takwa dalam pribadi kita serta di akhirat
mendapat balasan Surga. Seperti firman Allah:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى
النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
artinya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat
tinggalnya.” (An-Nazi’at: 40-41)
5. Mewaspadai
tipu daya syaithan
Seperti kita ketahui bersama bahwasanya syaithan menghalangi
orang-orang mu’min dengan beberapa penghalang, yang pertama adalah kufur,
jikalau seseorang selamat dari kekufuran, maka syaithan menggunakan caranya
yang kedua yaitu berupa bid’ah, jika selamat pula maka ia menggunakan cara yang
ketiga yaitu dengan dosa-dosa besar, jika masih tak berhasil dengan cara ini ia
menggoda dengan perbuatan mubah perkara yang diperbolehkan, sehingga manusia
menyibukkan dirinya dalam perkara ini, jika tidak mampu juga maka syaithan akan
menyerahkan bala tentaranya untuk menimbulkan berbagai macam gangguan dan
cobaan silih berganti.
Kaum
muslimin jamaah sholat jumat yang berbahagia..
Marilah, kita bersegera kembali menuju ampunan Allah dengan
bertaubat, melaksanakan amalan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya. Umat
Islam telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya adalah
dengan menerjemahkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk
orang-orang yang digambarkan di dalam Al-Quran dengan tiga kelompok manusia :
zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu
Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
Pertama:
Zhalimun linafsihi adalah orang
yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang di
haramkan oleh Allah.
Kelompok kedua
adalah Muqtashid, yaitu orang
yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan
yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
Kelompok ketiga
adalah:Sabiqun bil khairat, yaitu orang
yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan
makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Tak
seorang pun di antara kita yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjaranya Allah
yang berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan.
Tetapi semua itu terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan
syari’at dan aturan dari Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya.
Na’udzu billah.
Itulah ujian Allah kepada kita,
sebagaimana sabda Rasul SAW.
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ
النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ.
“(Jalan) menuju Jannah itu penuh dengan sesuatu yang tidak disukai
manusia, dan (jalan) Neraka itu dilingkupi sesuatu yang disukai oleh syahwat”
Semoga
Allah mengumpulkan kita dalam umat muhammad Rosulullah yang
terbaik dan terjauhkan dari ketergelinciran ke dalam jurang kemaksiatan. Amin
(Sumber:http://jabal-uhud.com/)